Redaksi Benua Post Nusantara
Banten — Sebetulnya, penulis ingin menahan diri untuk tidak berkomentar apa pun. Namun, kesewenang-wenangan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten dalam menggunakan kekuasaan membuat jari ini tak kuasa diam menyikapi keputusan menggelikan terhadap Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten.
Seribu jawaban administratif mungkin bisa disusun. Seribu dalih politis bisa digelontorkan. Bahkan seribu argumentasi hukum bisa dipertontonkan. Tetapi, satu saja pertanyaan nurani tak akan pernah mampu dijawab oleh para pemimpin Banten hari ini.
Hai, Pemimpin Banten — apakah Anda pernah punya guru?
Atau barangkali, kecerdasan Anda (jika memang Anda cerdas) hanyalah kecerdasan buatan—karena rasa sebagai seorang murid tak pernah tumbuh di dada Anda.
Sebelum menghukum, tidakkah Anda berpikir sejenak?
Pelanggaran seperti apa yang dilakukan sang guru? Ringan, sedang, atau berat?
Apa alasan di balik tindakan itu?
Apakah laporan yang sampai ke meja Anda sudah benar-benar berimbang dan objektif?
Atau Anda hanya mendengar keluhan wali murid yang lebay dan anak-anak yang ngambek—mungkin karena ada kendali pihak berpengaruh di sana?
Kepemimpinan yang berkeadilan seharusnya berangkat dari kebijaksanaan, bukan dari kemarahan atau tekanan kepentingan. Seorang pemimpin yang bijak tidak akan menjatuhkan keputusan hanya demi mempertontonkan kuasa. Ia akan menimbang dengan hati—karena tahu, pendidikan adalah ruang membentuk manusia, bukan panggung untuk menunjukkan kekuatan.
Sementara itu, di tempat lain, anak-anak sekolah dasar yang sederhana justru menunjukkan teladan: tidak lebay, tidak main lapor, dan tetap berpegang pada nilai-nilai kejujuran serta integritas.
Ironis.
Ketika anak-anak SD belajar menjadi manusia beradab, para pemegang kuasa justru kehilangan arah nurani.
Banten kini di persimpangan: apakah akan terus melaju dengan kesewenang-wenangan, atau mulai belajar kembali dari guru-guru yang justru sedang mereka hukum?
Karena di tangan pemimpin yang kehilangan nurani, Banten hanya akan menua dalam kebodohan yang dilegalkan oleh kekuasaan.
Namun di tangan anak-anak yang masih jujur dan polos, harapan itu tetap dijala—meski dengan jaring yang mulai robek.
BojReng









