Benua Post Nusantara, Pacitan - Pemerintah Kabupaten Pacitan kembali menciptakan kontroversi melalui program GEMAR (Gerakan Ayah Mengambil Rapor) yang digagas Dinas Pendidikan. Program ini, yang mewajibkan kehadiran ayah saat pengambilan rapor anak, menuai protes keras dari masyarakat karena dianggap tidak sensitif terhadap realitas keluarga modern.
Berdasarkan Surat Edaran Bupati Pacitan Nomor 400.13.16/3608/408.47/2025, ayah diminta meluangkan waktu untuk hadir langsung di sekolah saat pembagian rapor. Kepala Dinas Pendidikan, Khemal Pandu Pratikna, menegaskan bahwa kehadiran ayah memiliki dampak emosional penting bagi anak.
“Pengambilan rapor bukan sekadar menerima hasil belajar, tetapi momen membangun komunikasi antara orang tua, anak, dan sekolah,” katanya.
Namun, seruan pemerintah ini langsung menuai kritik tajam dari warga. Endik, seorang ayah yang bekerja jauh dari Pacitan, menyoroti ketidakadilan program ini.
“Ada ayah yang bekerja jauh demi kehidupan anaknya, ada ayah yang telah berpulang, dan ada anak-anak yang tumbuh tanpa figur ayah. Semoga setiap kebijakan pendidikan tidak hanya mempertimbangkan ideal keluarga, tetapi juga realitas hidup anak-anak yang beragam,” Tegasnya saat diwawancarai wartawan pada Kamis, 18 Desember 2025.
Kritikan serupa datang dari Siti, seorang ibu tunggal yang harus menghidupi anaknya seorang diri. Ia menyayangkan program GEMAR Pacitan.
“Bagaimana dengan kami yang hidup tanpa sosok ayah? Kebijakan ini justru menambah beban psikologis. Pemerintah harus memahami realitas keluarga, bukan sekadar mendorong idealisme," Ujarnya.
Program GEMAR Pacitan menekankan pentingnya dukungan ayah dalam pendidikan, dengan slogan yang tersebar di media sosial: “Satu hari untuk rapornya, kenangan selamanya untuk hatinya.” Tetapi kenyataannya, tidak semua anak memiliki kesempatan itu. Bagi mereka, perintah hadirnya ayah justru bisa menimbulkan rasa terasing dan tertinggal.
Buntut kontroversi ini pun mulai memicu perdebatan sengit di media sosial, dengan warga mempertanyakan:
- Apakah pemerintah masih memahami realitas keluarga di Pacitan?
- Apakah sebuah program idealis seperti GEMAR Pacitan bisa dianggap inklusif?
- Bukankah pendidikan seharusnya merangkul semua anak, bukan menekankan ketidakhadiran orang tua sebagai “kekurangan”?
Sementara Dinas Pendidikan memastikan jadwal pembagian rapor untuk SD dan SMP seragam pada 19 Desember 2025, berbagai pihak menilai program GEMAR Pacitan berpotensi menimbulkan stigma terhadap anak-anak dari keluarga tidak utuh.
Program ini seharusnya menjadi sarana meningkatkan keterlibatan orang tua, tetapi faktanya, ia telah menjadi bahan perdebatan panas yang mengguncang opini publik Pacitan.
Beberapa pengamat pendidikan bahkan menyebut kebijakan ini sebagai contoh “politik idealisme tanpa memahami realitas sosial”. Mereka menilai, imbauan agar ayah hadir bisa terasa eksklusif, diskriminatif, dan menekan anak-anak yang hidup dalam kondisi keluarga berbeda.
Dengan suara protes yang kian menguat, GEMAR Pacitan kini bukan lagi sekadar gerakan pendidikan, melainkan isu sosial yang memecah opini publik. Pemerintah daerah menghadapi tekanan untuk meninjau ulang program ini sebelum memunculkan ketidakadilan yang lebih luas.
Apakah GEMAR Pacitan akan tetap berjalan, ataukah akan dikaji ulang demi inklusivitas dan keadilan sosial? Publik menunggu jawaban pemerintah dengan napas tertahan.(*)
Penulis : Iwan