CIREBON 15 November 2025. Upaya Paguyuban Rakyat Cirebon (Paraci) untuk mendapatkan kejelasan mengenai sejumlah persoalan pengelolaan desa di Tangkil, Kecamatan Susukan, Kabupaten Cirebon, menemui jalan buntu. Alih-alih mendapat jawaban resmi, Paraci justru menghadapi sikap diam dari aparatur desa yang seharusnya berwenang memberikan informasi publik.
Surat permohonan audiensi yang dikirim Paraci pada 13 November 2025 memuat tiga pokok persoalan besar: penggunaan Dana Desa untuk ketapang BUMDes, pembangunan fisik Dana Desa tahun 2024–2025, serta dugaan sewa tanah bengkok (titisara) yang tidak mengikuti prosedur sesuai Permendagri. Ketiga hal ini dinilai mendesak untuk diklarifikasi karena menyangkut hak masyarakat atas transparansi pengelolaan keuangan dan aset desa.
Namun hingga kini, audiensi yang diajukan belum mendapat respon yang layak dari Pemerintah Desa Tangkil.
Sekdes sebagai PPID Desa Bungkam, Hanya Mempertemukan Paraci dengan Lembaga Desa
Sumber dari Paraci menyebutkan bahwa saat pihaknya mendatangi desa untuk menanyakan tindak lanjut audiensi, Sekretaris Desa — yang secara struktur menjabat sebagai Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Desa justru memilih diam.
Alih-alih menjalankan tugas memberikan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Sekdes malah mengalihkan pertemuan dengan mempertemukan Paraci kepada lembaga desa lain yang tidak memiliki wewenang memberikan jawaban resmi.
Sikap yang dinilai janggal ini memicu tanda tanya besar dari masyarakat dan organisasi Paraci.
PPID Desa semestinya menjadi pihak utama yang memfasilitasi keterbukaan informasi, bukan menutupinya atau menghindari dialog.
Kuwu Tangkil Ambari Masih Bungkam
Di tengah berbagai pertanyaan publik, Kuwu Tangkil, Ambari, juga belum memberikan pernyataan resmi.
Ketiadaan tanggapan ini memperpanjang spekulasi masyarakat mengenai apa yang sebenarnya terjadi di desa itu.
Padahal, sebagai kepala pemerintahan desa, Kuwu memiliki kewajiban:
memberi penjelasan mengenai tata kelola dana desa,
memastikan transparansi penggunaan anggaran,
serta menjawab aspirasi masyarakat secara terbuka.
Hingga berita ini ditulis, nomor resmi desa maupun pihak kuwu belum merespons permintaan klarifikasi.
Tiga Persoalan Utama yang Dipertanyakan Paraci
1. Ketapang BUMDes 20% Bersumber dari Dana Desa — Penggunaan Anggaran Dinilai Tidak Transparan
Paraci mempertanyakan penggunaan anggaran ketapang BUMDes yang diduga mengambil 20% dari Dana Desa.
Pengalokasian anggaran sebesar itu semestinya memiliki:
perencanaan yang jelas,
landasan hukum yang kuat,
mekanisme pelaksanaan yang transparan,
serta laporan dampak kepada masyarakat.
Namun, Paraci menilai pemerintah desa tidak pernah menjelaskan dana tersebut secara terbuka.
Masyarakat pun tak mengetahui bagaimana anggaran itu digunakan, siapa pelaksana, hingga hasil manfaatnya bagi desa.
Ini uang publik, bukan uang pribadi. Harus jelas alurnya,” ujar salah satu anggota Paraci.
2. Pembangunan Fisik Dana Desa Tahun 2024–2025 — Warga Menilai Informasi Minim dan Tidak Terbuka
Paraci juga mempertanyakan sejumlah pembangunan fisik yang dibiayai dari Dana Desa untuk tahun anggaran 2024–2025.
Beberapa pekerjaan disebutkan tidak diumumkan secara lengkap, bahkan papan informasinya minim atau tidak menampilkan detail sebagaimana aturan wajib.
Masyarakat berhak mengetahui:
besarnya anggaran,
jenis kegiatan,
waktu pelaksanaan,
pelaksana kegiatan,
serta tingkat penyelesaian fisiknya.
Namun, menurut Paraci, informasi tersebut tidak disampaikan secara utuh.
Ketiadaan transparansi ini dikhawatirkan membuka celah penyimpangan penggunaan Dana Desa.
3. Sewa Tanah Bengkok (Titisara) Diduga Tidak Sesuai Mekanisme — Melanggar Permendagri Nomor 1 Tahun 2016
Persoalan paling krusial ialah dugaan penyewaan tanah bengkok atau titisara yang tidak mengikuti mekanisme resmi.
(Eka)






