Blitar, benuapostnusantara.com | Dunia pendidikan kembali tercoreng dengan praktik pungutan liar yang diduga terjadi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Kota Blitar. Pihak sekolah diketahui memungut uang gedung sebesar Rp 3.000.000 per siswa. Tidak berhenti di situ, siswa juga diwajibkan membeli buku Lembar Kerja Siswa (LKS) dengan harga Rp 25.000 untuk setiap mata pelajaran. Praktik seperti ini bukan hanya melanggar aturan, tetapi mencederai prinsip pendidikan gratis yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah.
Lebih memprihatinkan lagi, penahanan ijazah dilakukan terhadap siswa yang belum melunasi kewajiban tersebut. Tindakan semacam ini jelas bertentangan dengan ketentuan hukum yang menyatakan bahwa ijazah adalah hak setiap lulusan, bukan alat untuk memeras atau menghukum siswa yang tidak mampu.
Ketika dikonfirmasi mengenai dugaan pungli ini, Kepala SMK Negeri 2 Kota Blitar, Zain Asrori, memilih menghindar dengan alasan sedang rapat. Namun, setelah rapat diketahui telah selesai, wartawan tetap tidak diberi kesempatan untuk bertanya secara langsung. Wartawan justru diarahkan menemui pihak Humas sekolah, Tri Winarti, yang beralasan tidak bisa memberikan keterangan karena dirinya baru menjabat sebagai humas. Jawaban ini jelas bukan penyelesaian, melainkan bentuk penghindaran tanggung jawab yang semakin memperkeruh suasana.
Praktik semacam ini merupakan wajah buruk birokrasi pendidikan: mahal, tertutup, dan cenderung represif terhadap hak-hak siswa. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana mencerdaskan bangsa justru berubah menjadi ladang pemerasan yang dibungkus formalitas. Uang gedung, LKS wajib, hingga penahanan ijazah hanyalah bukti bahwa akses pendidikan yang murah dan terbuka masih jauh dari harapan.
Kejadian ini menimbulkan pertanyaan besar: ke mana fungsi pengawasan Dinas Pendidikan? Mengapa praktik seperti ini dibiarkan tanpa tindakan tegas? Publik berhak mengetahui jawaban atas dugaan pungli ini, dan pihak sekolah wajib menjelaskan secara transparan—bukan malah bersembunyi di balik rapat dan melempar persoalan kepada humas baru yang belum paham situasi.
Jika dunia pendidikan dibiarkan menjadi tempat memeras, memaksa, dan menahan hak siswa, maka jargon pendidikan gratis hanyalah ilusi belaka. Kasus ini harus menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum dan Ombudsman untuk turun tangan memeriksa praktik kotor yang mencoreng wajah pendidikan di Kota Blitar.
(Tim- Red)...bersambung..