Kediri benuapostnusantara.com Pelaksanaan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Desa Dawuhan, Kecamatan Purwoasri, Kabupaten Kediri, menjadi contoh buruk penyelenggaraan program pemerintah.
Dengan dalih memudahkan masyarakat memperoleh kepastian hukum atas tanah dengan biaya yang jelas dan transparan sesuai SKB 3 Menteri, pelaksanaannya di lapangan justru menimbulkan kekecewaan.
Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas) yang seharusnya menguasai regulasi dan memastikan keterbukaan informasi, justru mengarahkan warga untuk mencari tahu sendiri ke desa tetangga terkait besaran biaya PTSL. Fakta ini menunjukkan bahwa Ketua Pokmas tidak memahami regulasi hukum yang mengatur pelaksanaan program ini.
Temuan lapangan yang disampaikan Ketua DPP LSM Gempar semakin memperjelas adanya kejanggalan. Keterangan Ketua Pokmas hanya berdasar pada “kesepakatan demi kesepakatan”, bukan aturan resmi yang telah ditetapkan pemerintah. Lebih fatal lagi, warga tidak diberikan pilihan bahwa biaya harus sesuai ketentuan resmi sebagaimana diatur dalam SKB 3 Menteri.
Praktik semacam ini berpotensi masuk kategori pungutan liar (pungli), karena masyarakat dibebani biaya tanpa dasar hukum yang jelas. Jika terbukti, tindakan tersebut dapat melanggar:
Pasal 368 KUHP (pemerasan dan pengancaman),
UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait pungutan tidak sah oleh pihak yang mengelola program pemerintah,
Peraturan Menteri ATR/BPN No. 12 Tahun 2017 yang mengatur biaya non-pendaftaran dalam program PTSL.
Kasus di Desa Dawuhan tidak bisa dianggap sepele. Ini menjadi bukti lemahnya pengawasan di tingkat desa dan membuka ruang penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan masyarakat. Oleh sebab itu, "LSM Gempar mendesak pihak BPN, Inspektorat, Ombudsman, dan Aparat Penegak Hukum untuk segera turun tangan, melakukan investigasi, dan memberikan sanksi tegas bila terbukti terjadi pelanggaran
(Tim-red) Bersambung....