GAZA | benuapostnusantara.com | Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza semakin memburuk. Warga sipil kini tidak hanya menghadapi serangan militer yang tak kunjung henti, tetapi juga tekanan kelaparan ekstrem akibat blokade yang melumpuhkan akses terhadap kebutuhan pokok. Di tengah kehancuran dan derita yang terus berlangsung, dunia internasional masih menunjukkan respons yang minim dan tidak memadai.
Hampir dua juta jiwa yang tinggal di Gaza kini terjebak dalam kondisi tanpa cukup makanan, air bersih, obat-obatan, bahkan listrik. Berdasarkan laporan organisasi kemanusiaan internasional, lebih dari 80 persen penduduk mengalami kelaparan ekstrem, sementara harga kebutuhan pokok melonjak tajam — satu kilo tepung bahkan disebut mencapai harga 150 shekel atau lebih dari Rp 600.000.
“Kami tidak bisa lagi membeli makanan, bahkan untuk anak-anak. Tidak ada roti, tidak ada air. Kami hanya menunggu bantuan yang entah kapan datang,” kata Ahmed, seorang ayah lima anak yang tinggal di Khan Younis.
Situasi diperparah oleh serangan udara yang terus menggempur wilayah permukiman. Rumah sakit-rumah sakit di Gaza kini nyaris lumpuh. Banyak fasilitas kesehatan yang tidak berfungsi akibat kekurangan bahan bakar dan rusaknya infrastruktur, membuat korban luka tidak mendapatkan perawatan layak.
Protes Warga Muncul di Tengah Derita
Beberapa warga Gaza, frustrasi dan lapar, mulai menunjukkan perlawanan terhadap kondisi ini. Aksi protes terjadi di sejumlah titik pasar pada pekan ini. Lapak-lapak makanan dihancurkan, dan beberapa pedagang diserang oleh warga yang menganggap harga makanan sebagai bentuk pemerasan terhadap rakyat yang terjepit.
“Ini bukan kejahatan, ini jeritan perut yang kosong,” ungkap seorang warga dalam video amatir yang beredar di media sosial.
Dunia Internasional Dikritik
Respons dunia terhadap penderitaan rakyat Gaza dinilai tidak cukup. Meskipun beberapa negara dan organisasi telah mengirim bantuan, jalur distribusi bantuan kemanusiaan masih sangat terbatas. Banyak pengamat menyebut bahwa kebijakan internasional — termasuk veto di Dewan Keamanan PBB — telah menjadi penghalang utama bagi terciptanya gencatan senjata yang adil dan berkelanjutan.
“Sikap diam negara-negara besar terhadap penderitaan di Gaza bukan hanya mengecewakan, tapi juga mencerminkan kegagalan kemanusiaan global,” kata aktivis HAM internasional, Lina Sharif, dalam sebuah pernyataan.
Seruan Gencatan Senjata dan Akses Kemanusiaan
Organisasi PBB, LSM internasional, dan beberapa kepala negara kembali menyerukan gencatan senjata segera dan akses penuh terhadap bantuan kemanusiaan. Mereka menuntut agar jalur bantuan dibuka tanpa syarat dan perlindungan terhadap warga sipil ditegakkan sesuai hukum internasional.
Namun hingga hari ini, tidak ada tanda-tanda signifikan bahwa penderitaan rakyat Gaza akan segera berakhir. Suara-suara penderitaan masih bergema di antara puing-puing bangunan dan tubuh-tubuh kelaparan yang menunggu keadilan.
Redaksi | Benua Post Nusantara
Terus kawal kebenaran. Suarakan yang dibungkam.