JAKARTA, benuapostnusantara.com - Insiden kekerasan terhadap jurnalis kembali mencoreng wajah kebebasan pers di Indonesia. Dua wartawan menjadi korban intimidasi saat melaksanakan tugas peliputan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, Kelurahan Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, pada Kamis (17/7/2025) sore.
“Kami saat itu sedang melakukan peliputan dan konfirmasi terkait dugaan praktik jual beli lahan makam di atas tanah milik pemerintah. Namun tiba-tiba kami ditarik, dan kepala saya ditanduk oleh kerabat Kepala Satuan Pelaksana (Kasatpel) TPU Pondok Ranggon,” ungkap Dennis Lubis, salah satu jurnalis korban kekerasan.
Dennis, yang menjabat sebagai Kepala Biro Edisinews.id, menjelaskan bahwa peristiwa terjadi sekitar pukul 15.00 WIB. Saat itu ia bersama rekannya, Jalampong—Kepala Biro Megalopitan.com—mendatangi TPU untuk mengumpulkan keterangan dari para pekerja di lapangan.
“Kami memperoleh informasi bahwa ada dugaan jual beli lahan eks makam dengan harga Rp2,5 juta per liang. Bahkan disebutkan ada petugas yang meminta uang dari ahli waris usai pemakaman,” ujar Dennis.
Informasi tersebut didapat dari para penggali kubur di TPU, yang jumlahnya mencapai 64 orang. Kedatangan kedua jurnalis tersebut semata-mata untuk melakukan verifikasi terhadap informasi yang beredar.
Namun, saat berada di lokasi, seorang pekerja harian lepas bernama Jayadi mengarahkan mereka untuk bertemu dengan seseorang bernama Hambali, yang disebut sebagai “sesepuh” TPU. Pertemuan berlangsung di area parkir, namun tanpa diduga, beberapa kerabat Jayadi telah menunggu di sana.
“Salah satu dari mereka langsung menanduk kepala saya, kemudian menarik tangan saya sambil menantang berduel,” ungkap Dennis.
Mirisnya, tindakan kekerasan itu disaksikan oleh petugas keamanan di lokasi namun tidak ada upaya untuk melerai atau menghentikan kejadian.
“Kami benar-benar kecewa. Ada petugas keamanan yang menyaksikan langsung kejadian, tapi tidak melakukan apapun,” tambahnya.
Karena merasa keselamatannya terancam, Dennis dan Jalampong memilih meninggalkan lokasi. Keduanya menilai apa yang mereka alami merupakan bentuk nyata penghalangan kerja jurnalistik, yang jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Ini mencederai prinsip demokrasi dan transparansi. Tugas wartawan dilindungi undang-undang,” tegas Dennis.
Senada, Jalampong menyatakan bahwa insiden tersebut merupakan peringatan serius bagi kebebasan pers di Indonesia, terutama di wilayah-wilayah yang rentan konflik dan sengketa lahan.
“Kami berharap pihak kepolisian mengusut tuntas insiden ini dan memberikan perlindungan hukum bagi para jurnalis yang tengah menjalankan tugasnya,” pungkas Jalampong.
(**)