Halsel, Banua Pos Nusantara - Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Halmahera Selatan diminta bertindak tegas terhadap sejumlah bangunan usaha yang berdiri di kawasan zona resapan air. Desakan tersebut disampaikan oleh aktivis lingkungan Muhammad Saifudin, yang menilai lemahnya penegakan aturan membuat para pengusaha leluasa membangun di wilayah yang seharusnya dilindungi.
Saifudin, yang akrab disapa Amat, menjelaskan bahwa sekitar 145 hektare lahan di wilayah Desa Labuha, Tomori, dan Hidayat telah ditetapkan sebagai zona resapan air. Menurutnya, kawasan itu memiliki fungsi penting dalam menjaga keseimbangan tata ruang dan ketersediaan sumber air bersih. “Wilayah tersebut sudah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2020 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan Labuha Tahun 2020–2040. Jadi seharusnya tidak boleh ada aktivitas pembangunan di sana,” ujarnya, Rabu, 15 Oktober 2025.
Amat menilai, jika pemerintah daerah terus menutup mata, maka dampaknya bisa sangat luas—mulai dari rusaknya pola tata ruang hingga potensi konflik horizontal di masyarakat. Ia juga menyoroti adanya sejumlah pengusaha yang tetap membangun usaha di kawasan itu, salah satunya yang disebut bernama Tiong San.
“Fungsi zona resapan air bukan hanya menjaga cadangan air tanah, tapi juga mencegah banjir dan kekeringan. Kalau terus dibiarkan, kerusakan lingkungan tinggal menunggu waktu,” tegasnya.
Aktivis asal Gane itu meminta Bupati Halmahera Selatan, Hasan Ali Bassam Kasuba, untuk mengambil langkah tegas terhadap para pelaku usaha yang melanggar. Ia menilai, sikap tegas dari kepala daerah akan menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah benar-benar serius menjaga tata ruang dan kelestarian lingkungan.
“Kami mendesak Bupati Halsel segera menertibkan para pengusaha yang tetap membangun di zona resapan air, termasuk usaha Bunga Low 3 dan lainnya. Penegakan aturan ini penting agar tidak ada pembiaran yang berujung pada kerugian bagi masyarakat luas,” ujar Amat menegaskan.
Amat menambahkan, pemerintah daerah harus menunjukkan keberpihakan pada kepentingan publik, bukan pada kepentingan bisnis yang merusak. “Ini bukan sekadar persoalan izin usaha, tapi menyangkut masa depan ekologi Halsel. Jika alam rusak, semua pihak akan menanggung akibatnya,” tutupnya.
Redaksi