Bandung, benuapostnusantara.com | Dalam dua pekan terakhir, isu pungutan royalti musik oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) ramai diperbincangkan di ruang publik. Sejumlah kasus penagihan menimbulkan kontroversi, bahkan dianggap berlebihan oleh sebagian pihak.
Salah satu contoh yang menjadi sorotan adalah penagihan terhadap sebuah hotel di Bandung. Hotel tersebut dikabarkan menerima tagihan royalti lantaran diduga memutar musik di area publik. Namun pihak hotel membantah, dengan menegaskan bahwa mereka tidak pernah memutar musik rekaman, melainkan hanya menggunakan suara kicauan burung peliharaan sebagai penambah suasana.
Di sisi lain, LMKN menyatakan bahwa penarikan royalti bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk perlindungan terhadap hak cipta para musisi. Menurut regulasi, setiap pihak yang memanfaatkan karya musik secara komersial di ruang publik memiliki kewajiban membayar royalti. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang menegaskan pentingnya penghargaan terhadap karya seni dan hak ekonomi pencipta.
Namun, dalam praktiknya, sebagian pelaku usaha menilai mekanisme penagihan masih perlu dievaluasi. "Kami tidak keberatan membayar royalti jika memang memutar musik berhak cipta. Tapi jangan sampai terjadi salah kaprah yang menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha," ujar seorang pengusaha perhotelan di Bandung.
Pakar hukum hak cipta juga menilai bahwa kejelasan aturan teknis dan transparansi sangat diperlukan agar tidak menimbulkan salah paham. "Royalti itu sah secara hukum, tetapi tata kelola dan pendekatannya harus tepat, sehingga tidak menimbulkan resistensi," kata salah satu akademisi hukum di Jakarta.
Polemik ini menunjukkan perlunya dialog antara LMKN, musisi, dan pelaku usaha, agar penerapan sistem royalti berjalan lebih adil, transparan, dan tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
//Red