Benua Post Nusantara | Lamongan tengah bergolak. Dunia pers di kabupaten ini kini dikepung dari dua arah: tekanan kekuasaan dari luar dan penyimpangan dari dalam tubuhnya sendiri. Dua nama kini menjadi sorotan: Syaiful Anam (SA), Kepala Dusun Kauman Desa Tawangrejo yang juga mengaku sebagai wartawan, dan Ramlan (RM), anggota Shorenk Lamongan yang dilaporkan SA ke Polres atas dugaan menghalangi kerja jurnalistik.
Namun, laporan itu justru membuka tabir gelap: penyalahgunaan jabatan, manipulasi identitas pers, dan dugaan tekanan terhadap media lain.
Ziwa, Ketua Dewan Pembina Shorenk Lamongan, mengecam keras laporan SA. “Lamongan darurat pers! Seorang kepala dusun aktif melapor atas nama wartawan. Ini pelanggaran etika dan hukum,” tegasnya.
Berdasarkan penelusuran Genpar News, SA kerap memperkenalkan diri dengan dua identitas: pejabat pemerintah sekaligus wartawan. Beberapa saksi menyebut ia menggunakan atribut pers untuk memengaruhi pemberitaan dan akses informasi desa.
Praktik rangkap profesi ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Permendagri Nomor 83 Tahun 2015, yang melarang perangkat desa memiliki pekerjaan lain yang menimbulkan konflik kepentingan.
Sejumlah jurnalis independen menilai tindakan SA sebagai “penghinaan terhadap profesi pers sejati.” Bahkan, jika terbukti menyalahgunakan jabatannya, SA dapat dijerat Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan kekuasaan serta Pasal 18 ayat (1) UU Pers bila terbukti menggunakan media untuk tekanan.
Kasus ini menggambarkan rapuhnya moral pers di daerah. Ketika perangkat desa bisa memerintah wartawan, dan profesi jurnalis dijadikan alat barter kepentingan, maka demokrasi informasi sedang sekarat.
Ziwa menutup tegas: “Pers bukan alat balas dendam. Jika kepala dusun masih bisa pakai rompi wartawan, maka rusaklah marwah jurnalis dan moral pemerintahan desa!”
Lamongan kini bukan sekadar darurat pers — Lamongan darurat moral.
Bas/tim