Bengkalis, Riau, benuapostnusantara.com - Konflik lahan dan perusakan tanaman sawit milik warga Kampung D.30, Desa Bumbung, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, kian memanas. Sekitar 21 warga yang menggarap lahan seluas lebih dari 76 hektare sejak puluhan tahun lalu kini menjerit akibat lahan dan tanaman sawit mereka dirusak tanpa ganti rugi yang jelas.
Warga menuding bahwa alat berat jenis excavator yang digunakan dalam aksi perusakan tersebut disediakan oleh seorang pria bernama Fahmi, yang diduga kuat merupakan kontraktor dari kelompok Renno Cs, yang disebut-sebut mengklaim kepemilikan lahan secara sepihak.
Perwakilan masyarakat Kampung D.30, Kornelius Samosir, menyatakan bahwa perusakan telah berlangsung sejak Oktober 2024 dan hingga kini belum juga ada tindakan dari pihak kepolisian.
“Orangtua kami membuka lahan ini sejak tahun 1996. Kami sudah bermukim di sini hampir 30 tahun. Sawit itu satu-satunya penghidupan kami. Tapi sekarang dihancurkan tanpa pemberitahuan, tanpa ganti rugi. Kami cuma minta keadilan,” ujar Kornelius, Selasa (22/7/2025).
Ia juga menyampaikan bahwa pelaku perusakan diduga merupakan oknum yang mengaku sebagai kepala suku di Desa Bumbung. Mereka bertindak sewenang-wenang menggunakan alat berat, bahkan sempat mengubur batang sawit dengan tanah untuk menghilangkan bukti.
Sarudin Siregar (60), warga lainnya, mengaku lahan seluas 15 hektare yang diwarisi dari ayahnya juga dirusak. Enam hektare di antaranya merupakan pohon sawit produktif.
“Kami pernah dijanjikan ganti rugi oleh pelaku yang bernama Renno dan Firdaus, tapi hingga kini tidak direalisasikan. Alat berat excavator milik Fahmi lah yang digunakan untuk merusak sawit kami,” ungkap Sarudin.
Sementara itu, Edison Matondang (34) mengaku menerima ancaman dari kelompok Renno Cs yang membawa sekitar 50 orang. Mereka juga mengklaim telah membeli lahannya dari seseorang bernama Manurung, dan bahkan mengaku sebagai anggota kepolisian dari Polda Pekanbaru.
“Saya sempat dipaksa menerima pembayaran ganti rugi senilai Rp29,9 juta, tapi hanya dibayar Rp7 juta secara bertahap, itu pun lewat transfer. Sisanya tak pernah dibayarkan. Ketika saya hubungi Fahmi, dia malah bilang: ‘Kalau abang tidak mau terima uang Rp7 juta itu, maka uang dan lahannya akan kami ambil’,” ujar Edison dengan mata berkaca-kaca.
LEMBAGA ALIANSI INDONESIA Turun Tangan
Menyikapi situasi ini, Agustinus Petrus Gultom, S.H., selaku Ketua Badan Pemantau dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi (BP2 Tipikor) dari Lembaga Aliansi Indonesia, menyebut praktik mafia tanah masih marak di wilayah Riau, termasuk di Kampung D.30.
“Modusnya bermacam-macam. Mengaku punya tanah adat, merusak lahan lalu mengusir penggarap, bahkan menipu calon pembeli meski tanah tersebut jelas masih digarap,” ujar Agus Gultom.
Ia menyebut pihaknya telah menerima banyak laporan dari korban, termasuk upaya intimidasi dan penguburan batang sawit untuk menghilangkan bukti perusakan. Bahkan, beberapa korban dijanjikan ganti rugi hingga Rp500.000 per batang sawit, tapi hingga kini tidak dipenuhi.
Pihaknya juga meminta aparat penegak hukum serta instansi terkait, termasuk Pertamina, untuk segera menertibkan dan menghentikan operasi alat berat ilegal yang beroperasi di kawasan yang dinilai sebagai zona sensitif, termasuk area pipa migas dan gudang bahan peledak.
“Kami akan terus mendampingi warga untuk membongkar praktik mafia tanah ini. Dugaan keterlibatan oknum aparat dan penyalahgunaan alat berat tanpa izin resmi tidak bisa dibiarkan. Oknum berinisial F yang menyuplai alat berat harus segera diperiksa,” tegas Agus Gultom.
Reporter: Redaksi
Editor: Tim Benua Post Nusantara