![]() |
Foto istimewa: Netti Herawati |
Bali — benuapostnusantara.com
Tajen atau sabung ayam bukan sekadar hiburan bagi sebagian masyarakat Bali. Ia telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi dan upacara adat. Namun, di balik pelestarian warisan budaya tersebut, muncul realita yang mengundang perhatian serius: kekerasan terhadap hewan, praktik perjudian, serta potensi tumbuhnya aktivitas kriminal di sekitar tajen.
Hasil investigasi yang saya lakukan di sejumlah lokasi tajen di Bali mengungkap bahwa praktik ini kerap disalahgunakan. Dalam banyak kasus, tajen tak lagi menjadi bagian dari ritual keagamaan atau adat, melainkan berubah menjadi ajang perjudian terbuka yang melibatkan uang dalam jumlah besar. Hal ini turut memancing hadirnya premanisme, pemerasan, bahkan kekerasan.
Padahal, secara hukum, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian secara tegas menyatakan bahwa segala bentuk perjudian adalah ilegal. Dengan demikian, jika tajen dilakukan di luar konteks adat atau keagamaan, maka praktik tersebut tidak dapat dibenarkan dan melanggar hukum yang berlaku.
Kita semua tentu ingin budaya kita dihormati dan dilestarikan. Namun, penting untuk disadari bahwa budaya tidak boleh dijadikan tameng untuk melegalkan kekerasan atau kejahatan. Pelestarian tradisi harus disertai dengan batasan dan regulasi yang tegas, agar nilai-nilai budaya tetap terjaga tanpa mengabaikan prinsip kemanusiaan dan hukum.
Mari kita rawat budaya dengan cara yang benar. Jadikan pelestarian tradisi sebagai bentuk penghormatan terhadap kearifan lokal, bukan sebagai celah pembiaran terhadap praktik yang merugikan masyarakat secara luas.