MPI, HALTENG - Kondisi darurat kemanusiaan mulai terasa di Kabupaten Halmahera Tengah (HALTENG) Maluku Utara, bukan karena bencana alam, melainkan akibat jeratan utang dan praktik mencekik dari layanan pinjaman, baik yang legal seperti pinjaman bank berbasis aplikasi, maupun para penyedia jasa pencairan dana yang mengambil kesempatan dalam kesulitan warga.
Laporan yang diterima menunjukkan adanya praktik pinjaman dengan bunga yang terlampau tinggi, bahkan mencapai 20% untuk pinjaman Rp 1 juta, serta proses yang rumit dan membebani. Ironisnya, kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mengaku sebagai "penjual jasa" atau perantara untuk memuluskan pencairan dana dari layanan perbankan digital.
Salah satu layanan yang menjadi sorotan adalah pinjaman dari Bank Raya (Pinang Flexi). Meskipun secara resmi Pinang Flexi menawarkan suku bunga flat yang tertera pada brosur produk, praktik di lapangan menunjukkan adanya pungutan tambahan dari para "penjual jasa" yang beroperasi di luar ketentuan bank.
Seorang warga yang enggan disebutkan namanya membeberkan pengalaman pahitnya. "Jadi kalau kita pinjaman uang ke [Pinang Flexi] sebesar Rp 25 juta, itu yang mengurus pendaftaran akan dapat Rp 3 juta. Kita terima cuman Rp 22 juta," ungkapnya. Tambahan potongan ini, lanjutnya, di luar dari bunga bulanan yang harus ia setorkan ke bank. Untuk pinjaman Rp 25 juta dengan tenor 18 bulan, cicilan bulanan yang dibayarkan ke Bank Raya (Pinang Flexi) mencapai Rp 1.763.889. Praktik pemotongan dana di awal ini, yang dikenal dengan dalih "biaya jasa pengurusan/pendaftaran nasabah," secara efektif mengurangi jumlah dana yang benar-benar diterima warga, sementara beban cicilan tetap dihitung berdasarkan plafon pinjaman awal.
Jika dicermati, praktik ini sangat membebani. Potongan awal sebesar Rp 3 juta dari pinjaman Rp 25 juta sudah setara dengan 12% dari total pinjaman, bahkan sebelum bunga bulanan dihitung. Ditambah lagi, ada laporan pinjaman kecil yang dikenakan bunga hingga 20% untuk pinjaman Rp 1 juta, menunjukkan tingginya biaya yang harus ditanggung masyarakat miskin dan rentan.
Kondisi ini menciptakan lingkaran setan utang. Warga yang terdesak kebutuhan terpaksa meminjam, namun dana yang diterima sudah terpotong signifikan. Beban cicilan yang tinggi, ditambah potongan awal, membuat warga harus bekerja keras hanya untuk menutupi biaya utang, meninggalkan sedikit sekali sisa untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Situasi ini mendesak perhatian serius dari Pemerintah Daerah HALTENG, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pihak berwajib. Pemerintah Daerah didesak untuk menggalakkan sosialisasi literasi keuangan dan menyediakan solusi modal usaha atau pinjaman dengan bunga yang wajar dan berpihak pada rakyat. OJK harus segera mengusut tuntas dugaan praktik "jasa pengurusan" yang memungut biaya tidak resmi dengan nilai fantastis, serta meninjau ulang kepatuhan penyedia jasa pinjaman terhadap prinsip perlindungan konsumen. Aparat Penegak Hukum perlu menindak tegas oknum-oknum "penjual jasa" yang diduga melakukan praktik penipuan atau pemerasan terselubung terhadap nasabah yang sedang dalam kesulitan.
HALTENG saat ini membutuhkan intervensi manusiawi untuk memutus mata rantai jeratan utang yang mengancam kesejahteraan dan stabilitas ekonomi masyarakat. Jangan biarkan kesulitan warga menjadi ladang bisnis tak bermoral.
(Team/Red)











