Jakarta, benuapostnusantara.com | Selama ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik di tingkat pusat maupun daerah, seharusnya menjadi wadah perjuangan aspirasi rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Anggota dewan dipilih oleh rakyat untuk berpikir, berbicara, dan bertindak demi kepentingan bangsa, negara, dan daerah.
Namun, kenyataannya tradisi Pergantian Antar Waktu (PAW) justru menjadi momok yang menakutkan bagi para legislator. Banyak anggota dewan tidak berani bersikap kritis ataupun menolak kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat karena takut di-PAW oleh partai pengusungnya.
Kondisi ini semakin ironis karena publik sudah mafhum bahwa sebagian keputusan partai kerap dipengaruhi oleh kepentingan segelintir konglomerat. Legislator yang menolak arus besar itu terancam kehilangan kursinya. Pertanyaan besarnya: kapan anggota dewan bisa berbuat maksimal untuk rakyat, jika setiap langkah selalu dibayangi ancaman PAW?
Karena itu, sudah saatnya tradisi PAW dihapus. Bila ada anggota dewan yang terbukti melanggar hukum atau tidak dapat menjalankan tugasnya, maka proses hukum harus ditegakkan. Setelah adanya keputusan hukum tetap, barulah partai mengganti dengan mekanisme yang berlaku. Dengan begitu, istilah "kebal hukum" pada anggota dewan pun dapat benar-benar dihapuskan.
Menghapus tradisi PAW bukan sekadar wacana, tetapi sebuah langkah penting agar anggota legislatif bisa benar-benar bekerja untuk rakyat tanpa tekanan politik.
Demikian masukan sederhana dari saya. Semoga menjadi bahan renungan bersama.
Pajo, NTB, 26 Agustus 2025
Hormat saya,
Ncuhi Pajo
Pemerhati Bangsa, Cucu Raja Pajo